Kisah Ali Bin Abi Thalib
Nahwu - Ali Bin Abi Thalib (Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadan 40/24 Januari 661). Khalifah keempat (terakhir) dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak; sepupu Nabi SAW yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Talib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, Abdullah bin Abdul Muttalib. Ibunya bernama Fatimah binti As‘ad bin Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi, sebagaimana Nabi yang juga pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW.
Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah SAW, taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoretis dan praktis.
Sewaktu Nabi hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi masih berada di rumahnya.
Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan cara itu, Rasulullah dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dinikahkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah yang ketika itu berusia 15 tahun (pada 2 H).
Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkan juga kepada putra-putrinya.
Ali juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama "Zul Faqar". Ia turut-serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi SAW dan selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi SAW, "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya." Karena itu, nasihat dan fatwanya selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.
Ketika Rasulullah wafat, Ali menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi SAW. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi SAW dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali tidak segera membaiatnya. Ia baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.
Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majlis asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, Ali banyak mengeritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasihatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, semua nasihat itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Usman.
Kritik Ali terhadap Usman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus dihukum hadd (beberapa jenis hukuman dalam fiqih) sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Usman juga dinilai keliru ketika ia tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Usman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali.
Usman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk membela Usman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, Usman tidak dapat diselamatkan.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, "Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr."
Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa‘d bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya.
Segera setelah dibaiat, Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu:
Masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Talhah, Zubair dan Aisyah binti Abu Bakar. Ketiga orang ini menuntut bela atas kematian Usman. Menurut mereka, Ali bersalah karena tidak mau menghukum para pemberontak yang menewaskan Usman, bahkan Ali didukung oleh kaum pemberontak itu. Untuk melawan Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari Basra dan Kufah. Di kedua kota ini terdapat banyak pendukung Usman.
Ada pendapat, pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Talhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah, tetapi ternyata Ali yang terpilih. Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, yaitu 'Abdullah bin Zubair, yang juga berambisi menjadi khalifah.
Mendengar rencana Talhah, Zubair, dan Aisyah, Ali segera mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Basra. Sesampai di sana Ali tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan mereka. Dia mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar mereka mau berunding, tetapi ajakannya itu menemui kegagalan dan pertempuran dahsyat tidak dapat dielakkan.
Pertempuran itu dikenal dengan "Perang Jamal (unta)" karena dalam pertempuran itu Aisyah mengendarai unta. Pertempuran ini berhasil dimenangkan Ali. Zubair dan Talhah terbunuh. Adapun' Aisyah, sebagai penghormatan kepada *ummul mukminin itu, dikirim kembali ke Madinah.
Pemberontakan kedua datang dari kelompok Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, kerabat dekat Usman. Di masa Usman, Mu‘awiyah diangkat menjadi gubernur di Damaskus. Ketika Ali terpilih menjadi khalifah, Mu‘awiyah tidak membaiatnya; ia menyatakan diri membangkang dengan alasan menuntut bela atas kematian Usman.
Menghadapi pemberontakan Mu‘awiyah, Ali dan pasukannya segera meninggalkan Kufah menuju Syam (kini Suriah). Mendengar kedatangan Ali dengan pasukannya, Mu‘awiyah dan pasukannya bersiap-siap menghadang di luar kota. Kedua pasukan itu bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin. Sebelum terjadi pertempuran, Ali menawarkan penyelesaian damai, tetapi Mu‘awiyah menolak. Lalu berkobarlah peperangan.
Setelah peperangan berlangsung beberapa hari terlihat tanda-tanda kemenangan di pihak Ali. Pada saat Mu‘awiyah dan tentaranya terdesak, penasihat Mu'awiyah yang dikenal cerdik dan licik, Amr bin As, meminta agar Mu‘awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur’an di ujung lembing-lembing sebagai isyarat berdamai. Dengan demikian Mu‘awiyah terhindar dari kekalahan total.
Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadan 34. Setiap pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah) dalam perundingan. Dari pihak Mu‘awiyah ditunjuk Amr bin As, sedang dari pihak Ali semula diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi pilihan Ali itu diprotes oleh sebagian tentaranya, dengan alasan bahwa ia adalah kerabat Ali, putra pamannya. Akhirnya, dengan berat hati Ali menyetujui Abu Musa al-Asy'ari.
Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangat berbeda. Amr bin As dikenal pandai dalam mempergunakan siasat dan tipu muslihat, sementara Abu Musa adalah orang yang lurus, rendah hati, dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Maka, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari jabatannya dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin.
Tetapi ketika gilirannya tiba, Amr bin As menyatakan persetujuannya atas pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu‘awiyah. Amr bin As menyalahi kesepakatan semula yang dibuatnya bersama Abu Musa, yaitu masing-masing menyetujui pemberhentian Ali maupun Mu‘awiyah, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah.
Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa "tahkim" (arbitrase). Kelicikan Amr bin As dalam peristiwa itu merugikan pihak Ali dan sebaliknya menguntungkan pihak Mu‘awiyah. Tetapi keputusan tahkim ini ditolak Ali; ia tetap mempertahankan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.
Pemberontakan ketiga datang dari Aliran Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali dalam menumpas pemberontakan Mu‘awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu'awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut "Khawarij" (orang-orang yang keluar).
Jumlah pengikut aliran Khawarij ini berjumlah ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah Amirul mukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia.
Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah Ia hukma illa bi Allah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.
Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub’it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan.
Di Harurah mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk di dalamnya Mu'awiyah, Amr bin As, dan Abu Musa al-Asy‘ari. Kegagalan Ali dalam tahkim menambah semangat mereka untuk mewujudkan maksud mereka.
Posisi Ali menjadi serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu‘awiyah yang semakin kuat di Syam; di pihak lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu‘awiyah untuk merebut Mesir.
Pertempuran sengit antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.
Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Mu‘awiyah, dan Amr bin As.
Mereka mengutus tiga orang untuk menjalankan rencana pembunuhan, yaitu: Abdur Rahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu‘awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir.
Dari ketiga utusan tersebut hanya Ibnu Muljam saja yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan napas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai khalifah selama lebih-kurang 4 tahun. (Ensiklopedi Islam Jilid I)
Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi, sebagaimana Nabi yang juga pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW.
Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah SAW, taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoretis dan praktis.
Sewaktu Nabi hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi masih berada di rumahnya.
Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan cara itu, Rasulullah dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dinikahkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah yang ketika itu berusia 15 tahun (pada 2 H).
Nama-Nama Istri Dan Anak Sayyidina Ali Bin Abi Thalib
Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi berturut-turut dengan:- Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra, yaitu Abbas, Ja'far, Abdullah, dan Usman;
- Laila binti Mas‘ud at-Tamimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Abdullah dan Abu Bakar;
- Asma binti Umair al-Kuimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Yahya dan Muhammad;
- As-Sahba binti Rabi'ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah;
- Umamah binti Abi Ass bin ar-Rabb, putri Zaenab binti Rasulullah SAW, yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad;
- Khanlah binti Ja‘far al-Hanafiyyah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah);
- Ummu Sa‘id binti Urwah bin Mas‘ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah; dan
- Mahyah binti lmri' al-Qais al-Kalbiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah
Kisah Ali Bin ABi Thalib
Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkan juga kepada putra-putrinya.Ali juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama "Zul Faqar". Ia turut-serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi SAW dan selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi SAW, "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya." Karena itu, nasihat dan fatwanya selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.
Ketika Rasulullah wafat, Ali menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi SAW. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi SAW dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali tidak segera membaiatnya. Ia baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.
Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majlis asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, Ali banyak mengeritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasihatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, semua nasihat itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Usman.
Kritik Ali terhadap Usman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus dihukum hadd (beberapa jenis hukuman dalam fiqih) sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Usman juga dinilai keliru ketika ia tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Usman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali.
Usman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk membela Usman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, Usman tidak dapat diselamatkan.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, "Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr."
Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa‘d bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya.
Segera setelah dibaiat, Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu:
- Memecat para pejabat yang diangkat Usman, termasuk di dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk penggantinya;
- Mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya;
- Memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitulmal, seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar; pemberian dilakukan secara merata tanpa membedakan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang masuk belakangan;
- Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat;
- Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan ‘Kufah sebagai pusat pemerintahan.
Masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Talhah, Zubair dan Aisyah binti Abu Bakar. Ketiga orang ini menuntut bela atas kematian Usman. Menurut mereka, Ali bersalah karena tidak mau menghukum para pemberontak yang menewaskan Usman, bahkan Ali didukung oleh kaum pemberontak itu. Untuk melawan Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari Basra dan Kufah. Di kedua kota ini terdapat banyak pendukung Usman.
Ada pendapat, pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Talhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah, tetapi ternyata Ali yang terpilih. Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, yaitu 'Abdullah bin Zubair, yang juga berambisi menjadi khalifah.
Mendengar rencana Talhah, Zubair, dan Aisyah, Ali segera mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Basra. Sesampai di sana Ali tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan mereka. Dia mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar mereka mau berunding, tetapi ajakannya itu menemui kegagalan dan pertempuran dahsyat tidak dapat dielakkan.
Pertempuran itu dikenal dengan "Perang Jamal (unta)" karena dalam pertempuran itu Aisyah mengendarai unta. Pertempuran ini berhasil dimenangkan Ali. Zubair dan Talhah terbunuh. Adapun' Aisyah, sebagai penghormatan kepada *ummul mukminin itu, dikirim kembali ke Madinah.
Pemberontakan kedua datang dari kelompok Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, kerabat dekat Usman. Di masa Usman, Mu‘awiyah diangkat menjadi gubernur di Damaskus. Ketika Ali terpilih menjadi khalifah, Mu‘awiyah tidak membaiatnya; ia menyatakan diri membangkang dengan alasan menuntut bela atas kematian Usman.
Menghadapi pemberontakan Mu‘awiyah, Ali dan pasukannya segera meninggalkan Kufah menuju Syam (kini Suriah). Mendengar kedatangan Ali dengan pasukannya, Mu‘awiyah dan pasukannya bersiap-siap menghadang di luar kota. Kedua pasukan itu bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin. Sebelum terjadi pertempuran, Ali menawarkan penyelesaian damai, tetapi Mu‘awiyah menolak. Lalu berkobarlah peperangan.
Setelah peperangan berlangsung beberapa hari terlihat tanda-tanda kemenangan di pihak Ali. Pada saat Mu‘awiyah dan tentaranya terdesak, penasihat Mu'awiyah yang dikenal cerdik dan licik, Amr bin As, meminta agar Mu‘awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur’an di ujung lembing-lembing sebagai isyarat berdamai. Dengan demikian Mu‘awiyah terhindar dari kekalahan total.
Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadan 34. Setiap pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah) dalam perundingan. Dari pihak Mu‘awiyah ditunjuk Amr bin As, sedang dari pihak Ali semula diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi pilihan Ali itu diprotes oleh sebagian tentaranya, dengan alasan bahwa ia adalah kerabat Ali, putra pamannya. Akhirnya, dengan berat hati Ali menyetujui Abu Musa al-Asy'ari.
Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangat berbeda. Amr bin As dikenal pandai dalam mempergunakan siasat dan tipu muslihat, sementara Abu Musa adalah orang yang lurus, rendah hati, dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Maka, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari jabatannya dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin.
Tetapi ketika gilirannya tiba, Amr bin As menyatakan persetujuannya atas pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu‘awiyah. Amr bin As menyalahi kesepakatan semula yang dibuatnya bersama Abu Musa, yaitu masing-masing menyetujui pemberhentian Ali maupun Mu‘awiyah, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah.
Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa "tahkim" (arbitrase). Kelicikan Amr bin As dalam peristiwa itu merugikan pihak Ali dan sebaliknya menguntungkan pihak Mu‘awiyah. Tetapi keputusan tahkim ini ditolak Ali; ia tetap mempertahankan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.
Pemberontakan ketiga datang dari Aliran Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali dalam menumpas pemberontakan Mu‘awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu'awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut "Khawarij" (orang-orang yang keluar).
Jumlah pengikut aliran Khawarij ini berjumlah ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah Amirul mukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia.
Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah Ia hukma illa bi Allah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.
Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub’it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan.
Di Harurah mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk di dalamnya Mu'awiyah, Amr bin As, dan Abu Musa al-Asy‘ari. Kegagalan Ali dalam tahkim menambah semangat mereka untuk mewujudkan maksud mereka.
Posisi Ali menjadi serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu‘awiyah yang semakin kuat di Syam; di pihak lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu‘awiyah untuk merebut Mesir.
Pertempuran sengit antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.
Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Mu‘awiyah, dan Amr bin As.
Mereka mengutus tiga orang untuk menjalankan rencana pembunuhan, yaitu: Abdur Rahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu‘awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir.
Dari ketiga utusan tersebut hanya Ibnu Muljam saja yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan napas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai khalifah selama lebih-kurang 4 tahun. (Ensiklopedi Islam Jilid I)
loading...
0 Response to "Kisah Ali Bin Abi Thalib"
Post a Comment