-->

Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Indonesia

Nahwu.top | Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, (Lok Cabang, Martapura, 15 Safar 1122 / 19 Maret 1710 - Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan, 6 Syawal 1227/13 Oktober 1812) Adalah seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan memegang peranan penting dalam sejarah dan perkembangan Islam, khususnya di Kalimantan; tokoh yang gigih mempertahankan dan mengembangkan paham ahlusunah waljamaah dengan teologi Asy'ariyah dan fiqih Mazhab Syafi'i; mufti (penasihat di bidang agama) Kesultanan Banjar; dan penulis kitab-kitab agama yang cukup produktif.

Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Indonesia

Syekh Al-Banjari lahir sebagai putra tertua dari lima bersaudara, hasil perkawinan Abdullah dan Siti Aminah. Ia juga dikenal dengan sebutan ”Datuk Kalampayan" karena makamnya terletak di Desa Kalampayan (sekitar 56 km dari Kota madya Banjarmasin).

Pendidikannya dimulai di lingkungan keluarganya yang dikenal taat. Ketika berusia sekitar 7 tahun, Sultan Tahlilullah (1700-1745), penguasa Kesultanan Banjar, meminta kepada orang tua al-Banjari agar mereka bersedia menyerahkannya untuk dididik di istana sekaligus diangkat sebagai anak angkat sultan. Sultan tertarik karena kecerdasan dan keterampilannya yang diketahui sultan ketika melakukan kunjungan kerja ke Lok Gabang. Meskipun agak berat, Abdullah dan Aminah tidak dapat menolak maksud baik sultan. Al-Banjari diserahkan, selanjutnya tinggal di istana bersama keluarga istana lain. Di sini ia memperoleh pendidikan dari guru-guru yang didatangkan sultan ke istana.

Ketika al-Banjari berusia sekitar 30 tahun, sultan mengirimnya ke Mekah untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan. Sebelum berangkat, sultan menikahkannya dengan seorang wanita bernama Bajut, agar ia kembali ke Banjar setelah menyelesaikan studinya di tanah suci. Ia belajar di Mekah sekitar 30 tahun dan memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum seperti geografi, biologi, matematika, geometri, dan astronomi. Salah seorang gurunya yang terkenal ialah Syekh Ataillah. Dengan izin gurunya ini, ia diberi kepercayaan untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidilharam. Kemudian, ia melanjutkan pelajaran di Madinah dengan Imam Haramain, Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan Syekh Abdul Karim as-Samani al-Madani, selama sekitar 5 tahun.

Selama belajar di tanah suci, al-Banjari berteman akrab dengan Syekh Abdus Samad al-Palimbani, Abdul Wahab Bugis (Sadanring Daeng Bunga Wardiah), dan Syekh Abdurrahman Masri, masing-masing berasal dari Palembang (Sumatra Selatan), Ujungpandang (Sulawesi Selatan), dan Jakarta. Keempat sahabat ini dikenal dengan sebutan "Empat Serangkai dari Jawa".

Pada mulanya, empat serangkai ini bermaksud melanjutkan studi ke Mesir, tetapi Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi menasihatkan agar mereka kembali ke kampung halaman untuk membina umat. Imam Haramain itu menganggap ilmu mereka sudah cukup dan tidak perlu belajar lagi di Mesir. Di samping itu, tenaga mereka dibutuhkan di daerah masing-masing.

Atas nasihat tersebut, keempat sahabat ini kembali ke Indonesia. Tetapi sebelum ke Kalimantan, al-Banjari bersama Syekh Abdul Wahab Bugis tinggal di Jakarta, di tempat sahabatnya Syekh Abdurrahman Masri, selama beberapa bulan. Di sini al-Banjari membetulkan arah kiblat beberapa masjid yang menurut pengetahuan dan keyakinannya tidak tepat. Masjid yang dibetulkan arah kiblatnya oleh al-Banjari antara lain adalah Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang, dan Masjid Pekojan. Di mihrab Masjid Jembatan Lima terdapat catatan berbahasa Arab bahwa arah kiblat masjid itu diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 (sekitar 7 Mei 1772).

Al-Banjari tiba di Martapura (ibu kota Kesultanan Banjar) pada bulan Ramadan 1186 (Desember 1772). Sejak itu sampai wafatnya ia mengabdikan dirinya membina masyarakat dan mengembangkan Islam. Dalam kegiatan pembinaan masyarakat ini, ia dibantu oleh Syekh Abdul Wahab Bugis yang ketika itu sudah menjadi menantunya. Syekh Abdul Wahab Bugis dikawinkan oleh al-Banjari dengan putrinya, Syarifah, di Mekah, tidak lama setelah al-Banjari menerima surat dari sultan Banjar bahwa istrinya, Bajut, melahirkan anak dan sudah dewasa.

Langkah pertama yang dilakukan al-Banjari setibanya di Martapura ialah membina kader-kader ulama, khususnya di lingkungan keluarganya sendiri. Untuk itu, ia tidak tinggal di istana seperti sebelum ia berangkat ke tanah suci. Ia meminta kepada sultan agar diberikan sebidang tanah yang akan digunakan untuk tempat tinggal, tempat pendidikan, dan pusat pengembangan Islam. Sultan Tamjidullah (1745-1778) yang berkuasa ketika itu mengabulkan permintaannya. Al-Banjari diberi sebidang tanah kosong berupa hutan belukar. Tanah ini dijadikan sebuah perkampungan. Di sini dibangun rumah-rumah, ruang pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri. Sejak itu mulailah kampung baru ini ramai didatangi santri dari berbagai pelosok daerah. Dari sini kemudian lahir ulama-ulama besar generasi berikutnya sebagai hasil usaha al-Banjari. Kampung ini selanjutnya hingga sekarang dikenal dengan nama "Dalam Pagar", karena pada mulanya para santri yang belajar dalam ruangan tertentu di kampung ini tidak boleh meninggalkan lingkungan tersebut tanpa izin; jika keluar, mereka disebut keluar pagar.

Dalam perjalanan sejarah Islam di Kalimantan Selatan, bentuk pendidikan yang dilakukan al-Banjari ini merupakan hal yang baru ketika itu, yaitu pendidikan Islam berada dalam satu kompleks lengkap dengan musala, tempat belajar, kiai, perpustakaan, dan asrama untuk para santri. Di samping itu, para santri tidak hanya diberi pelajaran agama, tetapi juga keterampilan bertani agar bisa hidup mandiri.

Di samping membuka pengajian dan pendidikan berbentuk pondok pesantren, al-Banjari juga gigih melakukan kegiatan dakwah langsung di tengah masyarakat, di kota maupun di desa terpencil, di lingkungan keluarga sultan maupun rakyat biasa. Dakwah langsung ini mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat, sehingga semangat keagamaan tumbuh subur di kalangan masyarakat. Tempat pengajian pun semakin ramai dikunjungi orang.

Atas anjurannya, dalam pemerintahan Kesultanan Banjar diberlakukan hukum Islam; bukan hanya terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana Islam, misalnya hukuman mati bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, dera bagi penzina, dan hukuman mati bagi orang Islam yang murtad. Untuk melaksanakan hukum tersebut, atas nasihatnya pula dibentuk Mahkamah Syari'ah, semacam pengadilan tingkat banding sekarang ini, di samping lembaga kekadian. Untuk memimpin Mahkamah Syari’ah ini ditunjuk seorang mufti. Mufti pertama yang diangkat sultan adalah Syekh Muhammad As’ad, cucu al-Banjari, dan kadi pertama adalah Abu Zu’ud, anak al-Banjari. Keduanya sebagian dari ulama yang dihasilkan Al-Banjari dari dakwah dan pengajiannya. Selama mereka menjabat, al-Banjari merupakan penasihat utama di bidang ini.

Al-Banjari aktif menulis sampai pada hari tuanya. Hasil karyanya yang terbesar ialah kitab Sabil al-Muhtadin (Jalan Orang-Orang Yang Mendapat Petunjuk), sebuah kitab fikih Mazhab Syafi‘i yang dijadikan buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia, Malaysia, dan Thailand pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bahkan sekarang pun masih ada orang yang mempelajarinya. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu (Jawi) tulisan Arab.

Karya lainnya di bidang fiqih ialah Luqtah al‘Ajlan, Kitab an-Nikah (Buku Nikah), Kitab (al-Fara'idra'id (Buku Pembagian Harta Warisan), dan Khasyiyah Fath al-Jawad (Komentar terhadap Buku Pembukaan Kemurahan Hati). Di bidang tauhid, karyanya antara lain Usul ad-din (Dasar-Dasar Agama), Tuhfah ar-Raghibin fl Bayan Haqiqah Iman al-Mu'minin wa ma Yufsiduhu min Riddah al-Murtaddin (Hadiah bagi Para Pencinta dalam Menjelaskan Hakikat Iman Para Mukmin dan Apa Yang Merusaknya dari Kemurtadan Orang-Orang Murtad), al-Qaul aI-Mukhtasar fi 'Alamah al-Mahd aI-Muntazar (Pembicaraan Singkat tentang Imam Mahdi Yang Ditunggu), dan Tarjamah Fath ar-Rahman (Terjemahan Buku Fath ar-Rahman). Di bidang tasawuf, karyanya yang ditemukan hanya satu, yaitu Kanz aI-Ma‘rifah (Gudang Pengetahuan).

Di samping itu masih ada karya tulis berupa mushaf Al-Qur’an tulisan tangan al-Banjari dalam ukuran besar yang ditulis dengan khat yang indah. Mushaf tersebut sampai sekarang masih dipajang dekat makamnya.

Untuk memelihara aqidah umat Islam dan memelihara kemurnian ajaran agama, al-Banjari pernah memberikan fatwa penjatuhan hukuman mati terhadap H. Abdul Hamid yang mengajarkan ajaran Wahdah aI-Wujud dan menimbulkan keresahan di masyarakat.
loading...

0 Response to "Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel