Sistem Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Islam
Nahwu.top | Islam sebagai agama yang universal dalam arti ajarannya meliputi semua masalah kehidupan manusia, mendorong umat manusia untuk belajar sebanyak-banyaknya. Ayat-ayat al-Qur'an ataupun Hadits-hadits Rasulullah banyak sekali yang mengandung ajakan kepada manusia untuk mempergunakan akal pikirannya dalam memandang alam ini. Kesempurnaan rasa agama hanya dapat dimiliki oleh orang-orang berakal. Agama adalah akal dan tidak ada agama bagi orang orang yang tidak berakal.
Ummat Islam selalu dianjurkan untuk melihat dan mempelajari kenyataan-kenyataan alam sebagai laboratorium dari kemahakuasaan Allah. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bahwa umat Islam pada abad-abad yang lampau telah berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Secara umum pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam sejarah Islam ditempuh dengan beberapa tahap. Pertama, tahap penerjemahan dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab. Tahap ini memang berlangsung agak lama (750- 850). Kegiatan penerjemahan dilakukan oleh kaum Muslimin secara terbuka dan bekerja sama dengan penerjemah dari agama Yahudi dan Nasrani. Pada fase penerjemahan ini kitab-kitab ilmu pengetahuan dan filsafat dari Yunani, Persia ataupun Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. bahasa Arab sendiri pada masa itu sudah menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan sudah menjadi bahasa komunikasi di seluruh Dunia Islam berkat politik Arabisasi Bani Umayyah.
Dalam masa penerjemahan tersebut, ulama-ulama Islam telah melawat ke berbagai negeri seperti Yunani, Persia dan Romawi. Di daerah-daerah tersebut ulama Islam mengumpulkan kitab-kitab ilmu pengetahuan dari bangsa-bangsa itu untuk dikumpulkan di Bagdad dan selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para ahli. Di Bagdad pada masa itu sudah terdapat lembaga penerjemahan yang dibangun oleh Khalifah Harun al-Rasyid dengan nama Baet al-Hikmah.
Peranan penguasa dalam memajukan ilmu pengetahuan pada masa itu sangat berarti. Khalifah al-Makmun misalnya memerintahkan ulama untuk ke luar negeri mencari ilmu baik dengan jalan menerjemahkan ataupun dengan membawa bukunya kembali ke Bagdad. Juga penguasa kadang-kadang mengundang para ahli dari daerah lain untuk membantu mengajar para pencinta ilmu ataupun untuk membantu dalam penerjemahan.
Tahap kedua, karya-karya ilmiyah yang telah diterjemahkan, kemudian diberi syarah atau komentar oleh kaum Muslimin dan diberikan persesuaian dengan agama. Oleh sebab itu pada periode tersebut lahir beberapa komentator Muslim terhadap karya-karya ilmiyah orang-orang Yunani dan Persia seperti telah dilakukan oleh fiilosof Islam. Akhirnya, hasil-hasil terjemahan kaum Muslimin dalam berbagai bidang Ilmu pengetahuan dan filsafat kemudian dikoreksi. Teori-teori yang telah diberikan oleh para ahli diberikan penjelasan. Bahkan berkat kepekaan pemikir-pemikir Islam, hasil koreksi terhadap teori-teori yang telah ada kadang-kadang dapat memancing lahirnya dan terciptanya teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri. Pada masa pengembangan inilah lahirnya karya-karya ulama yang sudah tersusun rapi dan penemuan-penemuan baru sebagai hasil ketekunan kaum Muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Perlu dicatat bahwa karya ilmiyah dalam bidang agama (Ulum al-Naqliyah) adalah karya murni umat islam. Karena itu perkembangan ilmu-ilmu ini tidak melalui tahap-tahap seperti telah dijelaskan.
Secara terperinci, gerakan penyusunan kitab-kitab yang bernilai ilmiyah berlangsung dalam tiga bentuk dan tahap pula. Tahap awal berbentuk lembaran-lembaran yang sama sekali masih jauh dari susunan yang tertib dan rapi. Tahap berikutnya, tahap pertengahan. Karya-karya para ulama dalam bentuk susunan kitab yang masih sederhana. Dan pada tahap ketiga karya-karya ulama yang sudah tersusun rapi menurut klasifikasi ilmu, tertib bab-bab dan fasal-fasalnya yang terperinci dsb. Dalam tahapan inilah lahirnya karya-karya ulama dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan filsafat yang tersusun rapi menurut kaedah-kaedah ilmu pengetahuan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat di Dunia lslam pada masa itu sangat ditentukan pula oleh sikap penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan, menghormati ulama dan para ahli, memiliki sifat keterbukaan dalam menerima pandangan-pandangan yang bersifat ilmiyah dari siapapun bahkan penguasa-penguasa itu sendiri adalah ulama. Penguasa Islam tidak segan-segan mengeluarkan biaya sebanyak-banyaknya untuk merangsang para ulama dan ahli untuk bekerja lebih sempurna. Para ulama dan ahli ilmu pengetahuan mendapatkan gaji yang tinggi dari negara. Mereka memiliki status sosial yang tinggi. Di samping gaji yang mereka peroleh setiap bulan dari negara, setiap tulisan dan karya karya mereka dinilai dan dibayar dengan mahal oleh penguasa. Sebagai illustrasi dikemukakan bahwa Khalifah al-Makmun membayar hasil terjemahan Hunain bin Ishak dengan emas seberat kitab-kitabnya.
Upaya mendirikan perpustakaan umum di samping perpustakaan pribadi merupakan hal yang sudah biasa saja pada masa perkembangan ilmu pengetahuan Dunia Islam. Setiap kota berdimensi ilmu di samping dimensi-dimensi lain. Pada umumnya kota-kota besar memiliki perpustakaan umum di samping perpustakaan para khalifah dan amir ataupun para ahli yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan. Di Perpustakaan-perpustakaan itulah orang-orang Islam menekuni ilmu pengetahuan yang ingin menjadi spesialisasinya, mengembangkannya sehingga dapat menjadi warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Perpustakaan itu diadakan di mesjid. Para penulis menyumbangkan bukunya sebagai waqaf dan pemerintah membeli atau menyiapkan pasilitas untuk penggandaan sebuah buku penting. Selain buku-buku agama, koleksi perpustakaan juga meliputi ilmu-ilmu seperti filsafat, astronomi dan lain-lain. Peribadi-peribadi tertentu juga memiliki perpustakaan umum seperti yang telah dilakukan oleh seorang kaya di Mousul sebelum pertengahan abad kesepuluh. Shiraz juga memiliki Kahazanah al-Kutub (perpustakaan) seperti al-Rayy. Perpustakaan digunakan untuk tempat pertemuan dan diskusi-diskusi.
Selain perpustakaan terdapat pula toko buku di pinggir jalan raya. Penjual-penjual buku itu sendiri juga berfungsi sebagai kaligrapher (penulis indah), penyalin buku dan penulis syair. Toko bukunya kadang-kadang berfungsi sebagai pusat diskusi kesusasteraan. Sarjana-sarjana seperti Yaqut al-Nadhim (wafat 995) sebelumnya adalah penjual buku.
Langkah lain dari sistem pengembangan ilmu pengetahuan ialah dengan jalan membentuk lembaga-lembaga pendidikan. Penguasa bersama rakyatnya mendirikan lembaga pendidikan dan penerjemahan di mana di dalamnya terjadi proses belajar mengajar ummat Islam dengan sistim tradisional. Di lembaga lembaga pendidikan dan penerjemahan yang telah ada itulah para pencinta ilmu berdatangan dari berbagai penjuru dunia dengan keinginannya sendiri untuk belajar atau karena mendapat undangan khusus dari penguasa Islam. Berbagai macam lembaga pendidikan dan penerjemahan telah didirikan oleh pemerintah pada masa perkembangan dan kemajuan Islam sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Ummat Islam selalu dianjurkan untuk melihat dan mempelajari kenyataan-kenyataan alam sebagai laboratorium dari kemahakuasaan Allah. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bahwa umat Islam pada abad-abad yang lampau telah berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Secara umum pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam sejarah Islam ditempuh dengan beberapa tahap. Pertama, tahap penerjemahan dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab. Tahap ini memang berlangsung agak lama (750- 850). Kegiatan penerjemahan dilakukan oleh kaum Muslimin secara terbuka dan bekerja sama dengan penerjemah dari agama Yahudi dan Nasrani. Pada fase penerjemahan ini kitab-kitab ilmu pengetahuan dan filsafat dari Yunani, Persia ataupun Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. bahasa Arab sendiri pada masa itu sudah menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan sudah menjadi bahasa komunikasi di seluruh Dunia Islam berkat politik Arabisasi Bani Umayyah.
Dalam masa penerjemahan tersebut, ulama-ulama Islam telah melawat ke berbagai negeri seperti Yunani, Persia dan Romawi. Di daerah-daerah tersebut ulama Islam mengumpulkan kitab-kitab ilmu pengetahuan dari bangsa-bangsa itu untuk dikumpulkan di Bagdad dan selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para ahli. Di Bagdad pada masa itu sudah terdapat lembaga penerjemahan yang dibangun oleh Khalifah Harun al-Rasyid dengan nama Baet al-Hikmah.
Peranan penguasa dalam memajukan ilmu pengetahuan pada masa itu sangat berarti. Khalifah al-Makmun misalnya memerintahkan ulama untuk ke luar negeri mencari ilmu baik dengan jalan menerjemahkan ataupun dengan membawa bukunya kembali ke Bagdad. Juga penguasa kadang-kadang mengundang para ahli dari daerah lain untuk membantu mengajar para pencinta ilmu ataupun untuk membantu dalam penerjemahan.
Tahap kedua, karya-karya ilmiyah yang telah diterjemahkan, kemudian diberi syarah atau komentar oleh kaum Muslimin dan diberikan persesuaian dengan agama. Oleh sebab itu pada periode tersebut lahir beberapa komentator Muslim terhadap karya-karya ilmiyah orang-orang Yunani dan Persia seperti telah dilakukan oleh fiilosof Islam. Akhirnya, hasil-hasil terjemahan kaum Muslimin dalam berbagai bidang Ilmu pengetahuan dan filsafat kemudian dikoreksi. Teori-teori yang telah diberikan oleh para ahli diberikan penjelasan. Bahkan berkat kepekaan pemikir-pemikir Islam, hasil koreksi terhadap teori-teori yang telah ada kadang-kadang dapat memancing lahirnya dan terciptanya teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri. Pada masa pengembangan inilah lahirnya karya-karya ulama yang sudah tersusun rapi dan penemuan-penemuan baru sebagai hasil ketekunan kaum Muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Perlu dicatat bahwa karya ilmiyah dalam bidang agama (Ulum al-Naqliyah) adalah karya murni umat islam. Karena itu perkembangan ilmu-ilmu ini tidak melalui tahap-tahap seperti telah dijelaskan.
Secara terperinci, gerakan penyusunan kitab-kitab yang bernilai ilmiyah berlangsung dalam tiga bentuk dan tahap pula. Tahap awal berbentuk lembaran-lembaran yang sama sekali masih jauh dari susunan yang tertib dan rapi. Tahap berikutnya, tahap pertengahan. Karya-karya para ulama dalam bentuk susunan kitab yang masih sederhana. Dan pada tahap ketiga karya-karya ulama yang sudah tersusun rapi menurut klasifikasi ilmu, tertib bab-bab dan fasal-fasalnya yang terperinci dsb. Dalam tahapan inilah lahirnya karya-karya ulama dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan filsafat yang tersusun rapi menurut kaedah-kaedah ilmu pengetahuan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat di Dunia lslam pada masa itu sangat ditentukan pula oleh sikap penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan, menghormati ulama dan para ahli, memiliki sifat keterbukaan dalam menerima pandangan-pandangan yang bersifat ilmiyah dari siapapun bahkan penguasa-penguasa itu sendiri adalah ulama. Penguasa Islam tidak segan-segan mengeluarkan biaya sebanyak-banyaknya untuk merangsang para ulama dan ahli untuk bekerja lebih sempurna. Para ulama dan ahli ilmu pengetahuan mendapatkan gaji yang tinggi dari negara. Mereka memiliki status sosial yang tinggi. Di samping gaji yang mereka peroleh setiap bulan dari negara, setiap tulisan dan karya karya mereka dinilai dan dibayar dengan mahal oleh penguasa. Sebagai illustrasi dikemukakan bahwa Khalifah al-Makmun membayar hasil terjemahan Hunain bin Ishak dengan emas seberat kitab-kitabnya.
Upaya mendirikan perpustakaan umum di samping perpustakaan pribadi merupakan hal yang sudah biasa saja pada masa perkembangan ilmu pengetahuan Dunia Islam. Setiap kota berdimensi ilmu di samping dimensi-dimensi lain. Pada umumnya kota-kota besar memiliki perpustakaan umum di samping perpustakaan para khalifah dan amir ataupun para ahli yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan. Di Perpustakaan-perpustakaan itulah orang-orang Islam menekuni ilmu pengetahuan yang ingin menjadi spesialisasinya, mengembangkannya sehingga dapat menjadi warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Perpustakaan itu diadakan di mesjid. Para penulis menyumbangkan bukunya sebagai waqaf dan pemerintah membeli atau menyiapkan pasilitas untuk penggandaan sebuah buku penting. Selain buku-buku agama, koleksi perpustakaan juga meliputi ilmu-ilmu seperti filsafat, astronomi dan lain-lain. Peribadi-peribadi tertentu juga memiliki perpustakaan umum seperti yang telah dilakukan oleh seorang kaya di Mousul sebelum pertengahan abad kesepuluh. Shiraz juga memiliki Kahazanah al-Kutub (perpustakaan) seperti al-Rayy. Perpustakaan digunakan untuk tempat pertemuan dan diskusi-diskusi.
Selain perpustakaan terdapat pula toko buku di pinggir jalan raya. Penjual-penjual buku itu sendiri juga berfungsi sebagai kaligrapher (penulis indah), penyalin buku dan penulis syair. Toko bukunya kadang-kadang berfungsi sebagai pusat diskusi kesusasteraan. Sarjana-sarjana seperti Yaqut al-Nadhim (wafat 995) sebelumnya adalah penjual buku.
Langkah lain dari sistem pengembangan ilmu pengetahuan ialah dengan jalan membentuk lembaga-lembaga pendidikan. Penguasa bersama rakyatnya mendirikan lembaga pendidikan dan penerjemahan di mana di dalamnya terjadi proses belajar mengajar ummat Islam dengan sistim tradisional. Di lembaga lembaga pendidikan dan penerjemahan yang telah ada itulah para pencinta ilmu berdatangan dari berbagai penjuru dunia dengan keinginannya sendiri untuk belajar atau karena mendapat undangan khusus dari penguasa Islam. Berbagai macam lembaga pendidikan dan penerjemahan telah didirikan oleh pemerintah pada masa perkembangan dan kemajuan Islam sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
loading...
0 Response to "Sistem Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Islam"
Post a Comment