Inilah Alasan Kenapa Zaid dan Amr Sering Disebut dalam Kitab Nahwu
Nahwu.top | Bagi teman-teman yang pernah mondok, khususnya di pesantren yang mengajarkan kitab kuning, pasti sangat sering mendengar kata “Zaid (زَيْدٌ)” dan “Amr (عَمْرٌو)”. Keduanya merupakan sosok yang paling terkenal dikalangan pesantren karena paling banyak disebutkan, terutama dalam kitab-kitab nahwu untuk dijadikan sebagai contoh.
Dalam kitab-kitab nahwu, seperti Jurumiyah, ‘imrithi, Alfiyah dan lain-lain, nama Zaid dan ‘Amr layaknya seperti idola. Karena keduanya sangat sering disebutkan dalam berbagai contoh dalam kitab-kitab nahwu tersebut.
Seperti contoh:
Santri yang baru mondok bahkan orang luar pesantren banyak yang penasaran dengan hal ini. Mengapa harus عَمْرٌو - زَيْدٌ Zaid dan Amr yang sering dijadikan contoh?. Apalagi Bang عَمْرٌو , Kenapa selalu Dia yang menjadi objek yang di pukul?.
Penggunaan lafazh عَمْرٌو - زَيْدٌ (Zaid Dan Amr), hanya sekadar contoh untuk lebih memberikan pemahaman yang mendalam terhadap para pemula dalam belajar qawaid Arab. Disamping itu, dengan hanya menggunakan dua kata itu, santri dapat lebih mudah untuk mengingat dan menghafalnya.
Namun, selain karena tujuan di atas, rupanya ada alasan-alasan lain kenapa harus memakai Zaid dan 'Amr, berikut ulasannya dilansir dari santrionline.net:
...فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا...
[…falamma qadha “zaid” minha wathara]
..."Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya)..."
“Zaid” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah “Zaid bin Haritsah”, salah satu sahabat Rasul, yang dalam kisahnya, adalah orang yang menceraikan istrinya, bernama Zainab binti Jahsy, untuk kemudian dinikahi oleh Rasul, atas perintah Allah. Zaid ini begitu mencintai Rasul, hingga ia disebut “al-hubb” (cinta). Nah, kabarnya, nama “Zaid” yang sering dijadikan contoh dalam kitab-kitab nahwu itu terinspirasi dari sosok Zaid yang diceritakan dalam Alquran tersebut. Bertabarruk dengan Alquran.
Dan yang menjadui pertanyaan berikutnya, dari manakah huruf “waw” tambahan itu berasal?
Dalam kitab "An-Nadharat" karya Syaikh Musthafa Luthfi bin Muhammad Luthfi Al-Manfalti (w. 1343) Juz 1 hlm 307, dikisahkan bahwa ada salah satu menteri dalam pemerintahan Daulah Utsmaniyah bernama Daud Basya yang ingin belajar Bahasa Arab. Ia mendatangkan salah seorang ulama untuk mengajarinya. Setiap kali ulama tersebut menjelaskan i’rab rafa’ dan nashab atau fa’il dan maf’ul, ia selalu membuatkan contoh dengan lafazh “ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا”, yang artinya, Zaid memukul 'Amr. Karena dilanda rasa penasaran, sang menteri pun bertanya:
"Apa kesalahan 'Amr sehingga Zaid memukulnya setiap hari?, Apakah Amr punya kedudukan yang lebih rendah dari Zaid sehingga Zaid bisa sesuka hati memukulnya, menyiksanya, lalu 'Amr tidak bisa membela dirinya?". Sang menteri bertanya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dengan marah-marah.
Gurunya menjawab : "Tidak ada yang memukul dan tidak ada yang dipukul!. Ini hanyalah contoh yang dibuat ulama nahwu untuk memudahkan para pelajar dalam memahami kaidah-kaidah nahwu”. Jawaban tersebut sama sekali tidak memuaskan hati sang menteri. Dia marah, lalu memenjarakan ulama yang telah mengajarinya itu.
Setelah kejadian itu, Ia menyuruh orang untuk mencari ulama nahwu lain. Ia juga menanyakan pertanyaan yang sama pada mereka. Dan jawabannya pun sama, sehingga banyak ulama di negerinya yang dimasukkan ke dalam penjara, karena jawaban yang tidak dapat memuaskan hatinya. Penjara penuh dengan para ulama dan madrasah-madrasah semakin sunyi.
Kejadian tersebut menjadi perbincangan di mana-mana, akhirnya sang menteri mengutus anak buahnya untuk menjemput para ulama-ulama ahli Nahwu (Nuhat) dari Baghdad. Mereka pun datang untuk menghadiri undangan menteri, para Nuhat tersebut dipimpin oleh seorang ulama yang paling alim, cerdas, cakap, dan cerdik.
Di hadapan para ahli Nahwu Baghdad ini, Daud Basya tetap melontarkan pertanyaan yang sama. “Apa kesalahan Amr hingga ia selalu dipukul Zaid?”
Ulama itu menjawab:
“Kesalahan Amr adalah karena ia telah mencuri huruf wawu yang seharusnya itu milik Anda”. Ia menunjukkan adanya huruf waw pada lafazh 'Amr setelah huruf ra. Lalu melanjutkan jawabannya: “Dan huruf waw ini lah yang saharusnya ada dalam lafazh Daud. Lihat! waw pada lafazh Daud hanya satu, yang seharusnya ada dua!”. Selanjutnya ia berkata: “Oleh sebab itu, para ulama nahwu memberikan wewenang kepada Zaid untuk selalu memukul Amr, sebagai hukuman atas perbuatannya itu!”.
Mendengar jawaban tersebut, Sang menteri benar-benar puas dan memuji ulama tersebut, seraya mengatakan bahwa Ia akan memberikan apapun hadiah yang diinginkan ulama tersebut. Namun ulama itu menjawab:
“Aku hanya memohon agar para ulama yang telah dipenjara segera dibebaskan”.
Sang Menteri mengabulkannya dan memberikan hadiah kepada para ulama bagdad tersebut. Wallahu A’lam.
Nah, pada kata “dawud” (dal, alif, wawu, dal), huruf “wawu” yang berharakat “dhammah” harus dibaca panjang satu “alif” atau satu “harakat” sebagai “mad thabi’i”, meski sesudahnya tidak terlihat ada huruf “wawu” – sebagaimana disyaratkan hukum mad itu. “Waw” di sana telah hilang dicuri si Amr.
Maka, pada setiap kata “dawud” di dalam Alquran, setidaknya yang dengan “rasm utsmani”, selalu ditambahkan “wawu” kecil sesudah huruf “wawu” pokok, sebagai penanda agar “wawu” pokok itu dibaca panjang.
Terimakasih telah membaca artikel "Inilah Alasan Kenapa Zaid dan Amr Sering Disebut dalam Kitab Nahwu". Semoga informasi ini bermanfaat bagi teman-teman. :)
Dalam kitab-kitab nahwu, seperti Jurumiyah, ‘imrithi, Alfiyah dan lain-lain, nama Zaid dan ‘Amr layaknya seperti idola. Karena keduanya sangat sering disebutkan dalam berbagai contoh dalam kitab-kitab nahwu tersebut.
Seperti contoh:
- زَيْدٌ قَائِمٌ (Zaid berdiri)
- ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا (Zaid memukul 'Amr)
Santri yang baru mondok bahkan orang luar pesantren banyak yang penasaran dengan hal ini. Mengapa harus عَمْرٌو - زَيْدٌ Zaid dan Amr yang sering dijadikan contoh?. Apalagi Bang عَمْرٌو , Kenapa selalu Dia yang menjadi objek yang di pukul?.
Penggunaan lafazh عَمْرٌو - زَيْدٌ (Zaid Dan Amr), hanya sekadar contoh untuk lebih memberikan pemahaman yang mendalam terhadap para pemula dalam belajar qawaid Arab. Disamping itu, dengan hanya menggunakan dua kata itu, santri dapat lebih mudah untuk mengingat dan menghafalnya.
Namun, selain karena tujuan di atas, rupanya ada alasan-alasan lain kenapa harus memakai Zaid dan 'Amr, berikut ulasannya dilansir dari santrionline.net:
Bang Zaid (زَيْدٌ)
Dalam Ilmu nahwu, Penggunaan lafazh Zaid Bukanlah sesuatu yang tanpa alasan dan sebab, karena para ulama nahwu memakai nama Zaidun untuk mendapat berkah seperti empunya nama, yaitu Zaidun itu sendiri. Nama Zaidun adalah musytaq (turunan kata) dari akar kata Za', Ya', Dal yg memiliki arti ُّالنُّمُو (bertambah), bagi para pencari ilmu, dengan nama tersebut diharapkan bertambah baginya ilmu dan keberkahan.Siapakah Zaid itu?
Zaid adalah nama sahabat Rasul yang disebut secara langsung oleh Alquran sebagai orang yang mendapat anugerah, tepatnya dalam surat al-Ahzab ayat 37:...فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا...
[…falamma qadha “zaid” minha wathara]
..."Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya)..."
“Zaid” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah “Zaid bin Haritsah”, salah satu sahabat Rasul, yang dalam kisahnya, adalah orang yang menceraikan istrinya, bernama Zainab binti Jahsy, untuk kemudian dinikahi oleh Rasul, atas perintah Allah. Zaid ini begitu mencintai Rasul, hingga ia disebut “al-hubb” (cinta). Nah, kabarnya, nama “Zaid” yang sering dijadikan contoh dalam kitab-kitab nahwu itu terinspirasi dari sosok Zaid yang diceritakan dalam Alquran tersebut. Bertabarruk dengan Alquran.
Bang 'Amr (عَمْرٌو)
Kenapa nama 'Amr sering dijadikan objek pukulan dalam ilmu nahwu, seperti ضُرِبَ عَمْرٌو ('Amr di pukul)?. Ternyata salah satu alasanya yaitu karna Amr mencuri huruf “waw”.Sekilas tentang 'Amr
Kata “'amr”, dalam bahasa Arab harus ditulis dengan empat huruf: (ع م ر و). Huruf “waw” pada kata عمرو hanyalah sebagai huruf tambahan yang tidak memiliki fungsi penting selain untuk pembeda antara kata "'Amr dan Umar", agar rangkaian huruf-huruf tersebut dibaca “amr” oleh pembaca, bukan “umar”. Sebab, kata “عمر” telah menjadi “hak paten” bagi nama sashabat Rasul, Umar bin Khatab.Dan yang menjadui pertanyaan berikutnya, dari manakah huruf “waw” tambahan itu berasal?
Dalam kitab "An-Nadharat" karya Syaikh Musthafa Luthfi bin Muhammad Luthfi Al-Manfalti (w. 1343) Juz 1 hlm 307, dikisahkan bahwa ada salah satu menteri dalam pemerintahan Daulah Utsmaniyah bernama Daud Basya yang ingin belajar Bahasa Arab. Ia mendatangkan salah seorang ulama untuk mengajarinya. Setiap kali ulama tersebut menjelaskan i’rab rafa’ dan nashab atau fa’il dan maf’ul, ia selalu membuatkan contoh dengan lafazh “ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا”, yang artinya, Zaid memukul 'Amr. Karena dilanda rasa penasaran, sang menteri pun bertanya:
"Apa kesalahan 'Amr sehingga Zaid memukulnya setiap hari?, Apakah Amr punya kedudukan yang lebih rendah dari Zaid sehingga Zaid bisa sesuka hati memukulnya, menyiksanya, lalu 'Amr tidak bisa membela dirinya?". Sang menteri bertanya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dengan marah-marah.
Gurunya menjawab : "Tidak ada yang memukul dan tidak ada yang dipukul!. Ini hanyalah contoh yang dibuat ulama nahwu untuk memudahkan para pelajar dalam memahami kaidah-kaidah nahwu”. Jawaban tersebut sama sekali tidak memuaskan hati sang menteri. Dia marah, lalu memenjarakan ulama yang telah mengajarinya itu.
Setelah kejadian itu, Ia menyuruh orang untuk mencari ulama nahwu lain. Ia juga menanyakan pertanyaan yang sama pada mereka. Dan jawabannya pun sama, sehingga banyak ulama di negerinya yang dimasukkan ke dalam penjara, karena jawaban yang tidak dapat memuaskan hatinya. Penjara penuh dengan para ulama dan madrasah-madrasah semakin sunyi.
Kejadian tersebut menjadi perbincangan di mana-mana, akhirnya sang menteri mengutus anak buahnya untuk menjemput para ulama-ulama ahli Nahwu (Nuhat) dari Baghdad. Mereka pun datang untuk menghadiri undangan menteri, para Nuhat tersebut dipimpin oleh seorang ulama yang paling alim, cerdas, cakap, dan cerdik.
Di hadapan para ahli Nahwu Baghdad ini, Daud Basya tetap melontarkan pertanyaan yang sama. “Apa kesalahan Amr hingga ia selalu dipukul Zaid?”
Ulama itu menjawab:
إِنَّهُ هجمٌ عَلىَ اْسْمِ مَوْلَانَا اْلوَزِيْرِ وَاغْتَصِبْ مِنْهُ اْلوَاوَ فَسَلطَ النَّحْوِيُوْنَ عَلَيْهِ زَيْدًا يَضْرِبُهُ كُلّ يِوْم جَزَاء وَقَاحته وفضوله يُشِيْرُ إِلىَ زِيَادَةِ وَاوِ عَمْرٌو وَإِسْقَاطِ اْلوَاوِ الثَّانِيَّةِ مِنْ دَاوُد فِي الرَّسْمِ
“Kesalahan Amr adalah karena ia telah mencuri huruf wawu yang seharusnya itu milik Anda”. Ia menunjukkan adanya huruf waw pada lafazh 'Amr setelah huruf ra. Lalu melanjutkan jawabannya: “Dan huruf waw ini lah yang saharusnya ada dalam lafazh Daud. Lihat! waw pada lafazh Daud hanya satu, yang seharusnya ada dua!”. Selanjutnya ia berkata: “Oleh sebab itu, para ulama nahwu memberikan wewenang kepada Zaid untuk selalu memukul Amr, sebagai hukuman atas perbuatannya itu!”.
Mendengar jawaban tersebut, Sang menteri benar-benar puas dan memuji ulama tersebut, seraya mengatakan bahwa Ia akan memberikan apapun hadiah yang diinginkan ulama tersebut. Namun ulama itu menjawab:
“Aku hanya memohon agar para ulama yang telah dipenjara segera dibebaskan”.
Sang Menteri mengabulkannya dan memberikan hadiah kepada para ulama bagdad tersebut. Wallahu A’lam.
Note:Kata “Dawud”, dalam bahasa Arab ditulis “dal”, “alif”, “wawu”, “dal”. Dalam bacaan Alquran, sesuai dengan ilmu tajwid, “wawu” berharakat “dhammah” dalam kata “daud” itu mesti dibaca panjang satu “alif” atau tiga “harakat” atau yang disebut dengan hukum “mad thabi’i”. Dalam teorinya, hukum “mad thabi’i” berlaku jika dalam satu kata, ada harakat “fathah” bertemu sesudahnya dengan huruf “alif”, atau harakat “kasrah” dengan huruf “ya”, atau harakat dhammah dengan huruf “wawu”.
Asal lafazh Dawwud adalah دَاوُوْدَ
Nah, pada kata “dawud” (dal, alif, wawu, dal), huruf “wawu” yang berharakat “dhammah” harus dibaca panjang satu “alif” atau satu “harakat” sebagai “mad thabi’i”, meski sesudahnya tidak terlihat ada huruf “wawu” – sebagaimana disyaratkan hukum mad itu. “Waw” di sana telah hilang dicuri si Amr.
Maka, pada setiap kata “dawud” di dalam Alquran, setidaknya yang dengan “rasm utsmani”, selalu ditambahkan “wawu” kecil sesudah huruf “wawu” pokok, sebagai penanda agar “wawu” pokok itu dibaca panjang.
Terimakasih telah membaca artikel "Inilah Alasan Kenapa Zaid dan Amr Sering Disebut dalam Kitab Nahwu". Semoga informasi ini bermanfaat bagi teman-teman. :)
loading...
شكرا و جزاك الله خيرا
ReplyDeleteعفوا :)
ReplyDelete