Zhanna dan Saudara-saudaranya
Dalam artikel ini akan kami jelaskan tentang salah satu af’aal yang menasikh ibtida’, yaitu zhanna dan saudara-saudaranya. Zhanna dan saudara-saudaranya terbagi dua. Yang pertama merupakan af’aalul qulub, artinya pekerjaan hati, dan yang kedua af’aalul tashyir artinya menunjukkan makna perpindahan. Perlu diketahui bahwa af’aalul qulub terbagi ke atas tiga bagian, yaitu:
- Fi’il yang muta’addi kepada maf’ul satu, seperti lafazh عَرَفَ (mengenal) dan lafazh فَهِمَ (mengerti).
- Fi’il yang tidak muta'addi dengan sendirinya, seperti lafazh فَكَرَ (berfikir) dan lafazh تَفَكَّرَ (memikirkan).
- Fi’il yang muta’addi kepada maf’ul dua yang akan kami jelaskan di bawah ini:
Zhanna dan saudara-saudaranya dapat memasuki mubtada dan khabar setelah fa’il-nya terpenuhi serta me-nashab-kan keduanya, karena mubtada dan khabar menjadi maf’ul kesatu dan kedua baginya.
Zhanna dan saudara-saudaranya ada dua macam. Yaitu af’aalul qulub dan af'aalut tashyir.
Af'aalul Qulub
Dinamakan af’aalul qulub karena menunjukkan makna pekerjaan hati, berikut fi'il-fi'ilnya:
ظَنَنْتُ = aku menduga, asalnya ظَنَّ
حَسِبْتُ = aku mengira, asalnya حَسِبَ
خِلْتُ = aku menyangka, asalnya خَالَ
رَأَيْتُ = aku telah melihat (yakin), asalnya رَأَى
عَلِمْتُ = aku telah mengetahui (dengan yakin), asalnya عَلِمَ
زَعَمْتُ = aku menduga, asalnya زَعَمَ
جَعَلْتُ = aku mengitikadkan, asalnya جَعَلَ
حَجَوْتُ = aku menduga, asalnya حَجَا
عَدَدْتُ= aku menganggap, asalnya عَدَّ
هَبْ = menganggap, fi’il ghair mutasharrif
وَجَدْتُ = aku telah mendapati (yakin), asalnya وَجَدَ
أَلْفَيْتُ = aku telah mendapati (yakin) asalnya أَلْفَى
دَرَيْتُ = aku telah mengenal (yakin), asalnya دَرَى
تَعَلَّمَ = ketahuilah
Lafazh تَعَلَّمَ bermakna sama dengan dengan lafazh اِعْلَمْ . kedua fi’il ini tidak dipakai kecuali bentuk amar-nya saja.
ظَنَنْتُ زَيْدًا قَائِمًا = aku menduga bahwa Zaid berdiri
Akan tetapi, terkadang zhanna ini dipakai pula untuk menunjukkan makna yakin, seperti yang terdapat di dalam firman Allah:
الّذِينَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلَاقُوْا رَبِّهِمْ
yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya.. (Al-Baqarah:46).
حَسِبْتُ زَيْدًا عَالِمًا = aku kira bahwa Zaid seorang yang berilmu
Terkadang lafazh حَسِبَ ini digunakan untuk menunjukkan makna yakin, seperti perkataan seorang penyair:
حَسِبْتُ التُّقَى واْلجُوْدَ خَيْرَ تِجَارَةٍ * رَبَاحًا إِذَا مَا اْلمَرْءُ أَصْبَحَ ثَاقِلًا
Aku meyakini bahwa takwa dan sifat dermawan merupakan perniagaan yang paling baik keuntungannya apabila seseorang telah meninggal dunia.
خِلْتُ عَمْرًا شَاخِصًا = Aku menduga bahwa ‘Amr menampakkan diri
Akan tetapi terkadang lafazh خَالَ dipakai untuk menunjukkan makna yakin, seperti yang terdapat dalam perkataan seorang penyair:
دَعَانِيْ اْلغَوَانِيْ عَمَّهُنَّ وَخِلْتُنِيْ * لِيْ اسْمٌ، فَلَا أُدْعَى بِهِ وَهوَ أَوَّلُ
Para penyanyi perempuan itu memanggilku sebagai pamannya, sedangkan aku merasa yakin bahwa aku mempunyai nama, tetapi nama itu tidak disebutkan, padahal lebih utama.
Lafazh رَأَى biasanya bermakna yakin dan kadang-kadang bermakna menduga, contohnya seperti pada firman Allah ta’ala:
اِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا، وَنَرَاهُ قَرِيْبًا
“Sesungguhnya mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil). Sed angkan kami menyakininya dekat (mungkin terjadi)... (al-Ma’rij: 6-7).
Lafazh رَأَى yang terdapat pada ayat ketujuh menunjukkan makna yakin, namun terkadang lafazh رَأَى juga menunjukkan makna dugaan (zhanna) seperti yang tertera pada ayat ke 6 di atas. Makna yang dimaksud dalam ayat enam tersebut adalah sesungguhnya mereka menduga siksaan itu mustahil akan terjadi.
Contoh lafazh عَلِمَ seperti tertera dalam ayat al-Quran berikut:
فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ
Mak a jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman... (Al-Mumtahanah: 10).
Atau
فَاعْلَمْ اَنَّهُ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah.. (Muhammad:19).
Contoh lafazh زَعَمَ ialah seperti perkataan penyair:
زَعَمْتنِيْ شْيْخًا وَلَسْتُ بِشَيْخٍ * إِنَّمَا الشَّيْخُ مَنْ يَدُبُّ دَبِيْبًا
Aku menduga aku lanjut usia , padahal aku bukanlah lanjut usia . Karena sesungguhnya lanjut usia itu orang yang jalannya merangkak .
وَجَعَلُوْا اْلمَلاَئِكَةَ الَّذِيْنَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَانِ اِنَاثًا
Dan mereka m enjadikan (mengiktikadkan) malaikat-malaikat, yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah, sebagai perempuan. (Az-Zhukruf:19).
Khusus bagi lafazh جَعَلَ hendaknya mengandung makna اِعْتَقَدَ . Hal ini dimaksudkan untuk mengecualikan lafazh جَعَلَ yang bermakna صَيَّرَ yang artinya menjadikan, karena sesungguhnya yang terakhir ini termasuk af’aalul-tashyir, bukan af’aalul qulub.
قَدْ كُنْتُ اَحْجُوْ أَبَا عَمْرٍو وَأَخًا ثِقَةً * حَتَّى أَلَمَّتْ بِنَا يَوْمًا مُلِمَّاتُ
Sesungguhnya dahulu aku menduga Abu ‘Amr teman yang dapat dipercaya (untuk dimintai perlindungan) sehingga pada suatu hari kami tertimpa malapetaka (Abu ‘Amr lari dari kami).
فَلَا تَعْدُدِ اْلمَوْلَى شَرِيْكَكَ فِي اْلغِنَى * وَلَكنَّمَأ اْلمَوْلَى شَرِيْكُكَ فِي اْلعَدَمِ
Janganlah kamu menganggap sebagai temanmu orang yang menolongmu dalam masa kekayaan, akan tetapi temanmu yang sesungguhnya ialah orang yang menolongmu dalam masa ketiadaan.
فَقُلْتُ أَجِرْنِيْ أَبَا مَلِكٍ * وَإِلَّا فَهَبْنِيْ امْرَأً هَالِكًا
Lalu aku berkata, “Lindungilah aku, hai Abu Malik” jika engkau tidak melindungiku, maka anggaplah aku adalah orang yang pasti binasa.
تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا
Nis caya kalia n memperoleh (balasan)-nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik. (al -Muzammil: 20).
اِنَّهُمْ اَلْفَوْا آبَاءَ هُمْ ضَالِّيْنَ
Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat. (ash -Shaffaat: 69).
دَرَيْتُ زَيْدًا قَائِمًا
Aku telah mengenal bahwa Zaid berdiri
Dan contoh lafazh تَعَلَّمْ :
تَعَلَّمْ شِفَاءَ النَّفسِ قَهْرَ عَدُوِّهاَ * فَبَالِغْ بِلُطْفٍ فيْ التَّحَيُّلِ وَاْلمَكرِ
Ketahuilah sesungguhnya hal yang menjadi penawar hati ialah dapat mengalahkan musuh, karena itu berlaku haluslah di dalam melancarkan siasat dan tipu dayamu.
Apabila lafazh ظَنَّ bermakna اِتَّهَمَ (menuduh), رَأَى bermakna أَبْصَرَ (melihat), dan عَلِمَ bermakna عَرَفَ (mengenal), maka fi’il yang bersangkutan tidak muta’addi kecuali kepada maf’ul satu.
ظَنَنْتُ زَيْدًا = aku menuduh Zaid; (bermakna اِتَّهَمْتُهُ ).
رَأَيْتُ زَيدًأ = aku telah melihaz Zaid; (bermakna أَبْصَرْتُهُ ).
عَلِمْتُ اْلمَسأَلَةَ = aku mengetahui masalah itu; (bermakna عَرَفْتُهَا ).
Af’aallut -Tashyir
Dinamakan af’aallut-tashyir karena menunjukkan makna perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan lain, berikut fi'il-fi'ilnya: جَعَلَ، رَدَّ، اِتَّخَذَ، سَيَّرَ، dan lafazh وَهَبَ (yang artinya menjadikan).
Contohnya seperti firman Allah berikut:
وَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْشُوْرًا
Lal u kami j adikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (al -Furqan: 23)
لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِنْ بَعْدِ اِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا
Agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman . (al -Baqarah: 109).
وَاتَّخَذّ اللهُ اِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلًا
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (an-Nisa:125).
صَيَّرْتُ الطِّيْنَ خَزَفًا = aku jadikan tanah liat itu keramik.
Dan seperti perkataan orang Arab:
وَهَبَنِيَّ اللهُ فِدَاءَ كَ = Allah telah menjadikan aku sebagai tebusanmu
Hukum-hukum yang berlaku dalam bab Zhanna dan Saudara-saudaranya
Ketahuilah bahwa untuk af’aal yang terdapat dalam bab ini ada tiga macam hukum.
Yang pertama ialah pengamalan (me-nashab -kan kepada maf’ul dua ). Hal ini merupakan hukum pokok, artinya berlaku untuk semua af’aal dalam bab ini.
Yang kedua ialah ilgha, artinya membatalkan (meniadakan) pengamalan, baik secara lafazh maupun secara makna (mahall) karena amil yang terletak di tengah-tengah kalimat (antara mubtada dan khabar) atau terletak pada akhir kalimatnya dianggap lemah untuk beramal.
زَيْدٌ ظَنَنْتُ قَائِمٌ = Zaid telah kuduga berdiri
Lafazh ظَنَنْتُ tidak ada pengamalannya terhadap lafazh زَيْدٌ قَائِمٌ, baik secara lafazh maupun secara makna.
زَيْدٌ قَائِمٌ ظَنَنْتُ = Kuduga Zaid berdiri.
Hukum ilgha ini hanya boleh bukan wajib; berarti masih boleh pula mengamalkan, yaitu boleh dibaca زَيْدُا ظَنَنْتُ قَائِمًا dan زَيْدًا قَائِمًا ظَنَنْتُ.
Meng-ilgha-kan fi’il yang terletak pada akhir kalimat mubtada dan khabar itu lebih baik daripada mengamalkannya, yakni dibaca:
زَيْدٌ قَائِمٌ ظَنَنْتُ = Kuduga Zaid berdiri
Sedangkan apabila fi’il terletak di tengah-tengah kalimat (antara mubtada dan khabar), maka mengamalkannya lebih baik daripada meng-ilgha-kannya, misalnya:
زَيْدٌ ظَنَنْتُ قَائِمًا = Aku telah menduga Zaid berdiri
Tidak boleh ilgha apabila amil itu terdapat pada permulaan kalimat.
ظَنَنْتُ زَيْدٌ قَائِمٌ = Aku telah menduga Zaid berdiri
Tidak boleh dikatakan demikian, tetapi harus dikatakan:
ظَنَنْتُ زَيْدًا قَائِمًا = Aku menduga bahwa Zaid berdiri
Hukum ini berbeda dengan ulama nahwu kufah.
Yang ketiga ialah ta’liq, artinya membatalkan (meniadakan) pengamalan secara lafazh, tetapi maknanya tidak, karena kedatangan lafazh yang memiliki shadrul (permulaan) kalam sesudah kalam sesudah amil (dengan kata lain karena ada hal yang mencegahnya untuk beramal), yaitu lam ibtida, contoh:
ظَنَنْتُ لَزَيْدٌ قَائِمٌ = aku menduga bahwa Zaid benar-benar berdiri
Atau maa nafiyah seperti pada firman Allah berikut:
لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلآءِ يَنْطِقُوْنَ
Sesungguhnya kamu hai Ibrahim telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara. (al -Anbiya: 65)
atau Laa nafiyah, contoh:
عَلِمْتُ لاَ زَيْدٌ قَائِمٌ وَلاَ عَمْرٌو = aku telah mengetahui bahwa Zaid tidak berdiri dan tidak pula ‘Amr
atau In nafiyah , contoh :
عَلِمْتُ وَاللهِ اِنْ زَيْدٌ قَائِمٌ = aku telah mengetahui demi Allah Zaid tidak berdiri
atau Hamzah istifham, contoh:
عَلِمْتَ أَزَيْدٌ قَائِمٌ أَمْ عَمْرٌو = tahukah kamu, apakah Zaid yang berdiri ataukah ‘Amr?
Atau kedaan salah satu diantara kedua maf’ul-nya isim istifham.
عَلِمْتَ أَيُّهُمْ أَبُوْكَ = tahukah kamu, manakah ayahmu diantara mereka?
Hukum Ta’liq
Hukum Ta’liq (bagi amil) itu wajib apabila terdapat sesuatu dari mu’allaqaat yang telah dikemukakan tadi (yaitu seperti lam ibtida, maa nafiyah, hamzah istifham, dan isim istifham).
Fi’il-fi’il yang tidak dapat di ta’liq-kan dan di-ilgha-kan
Ta’liq dan ilgha tidak dapat masuk pada sesuatu dari af’aalu tashyir dan tidak pula pada af’aalul qalbiyyah yang jamid yaitu ada dua:
Lafazh هَبْ dan lafazh تَعَلَّمْ, karena sesungguhnya kedua fi’il ini bersifat lazim (tetap) yang berbentuk amar (dipakai dalam bentuk amar-nya). Selain dari kedua fi’il ini yang berasal dari fi’il-fi’il bab ini, yaitu fi’il mudhari’, fi’il amar, dan selain keduanya dapat di-tashrif-kan (yakni tidak jamid) kecuali lafazh وَهَبَ dari af’aalut tashyir, karena sesunggunya ia bersifat lazim, (tetap) untuk bentuk fi’il madhi.
Bagi af’aalul qulub yang mutasharrif ini ditetapkan ketentuan (pengamalan, ilgha, dan ta’liq) sama dengan yang telah ditetapkan bagi fi’il madhi dan telah dikemukakan sebagian contoh-contohnya. Contoh lainnya ialah dalam bentuk pengamalan mashdar, seperti:
أَعْجَبَنِيْ ظَنُّكَ زَيدًا عَالِمًا = Dugaanmu bahwa Zaid berilmu mengherankanku
Dalam bentuk pengamalan isim fa’il, seperti:
أًنَا ظَنٌّ زَيْدًا عَالِمًا = aku orang yang menduga bahwa Zaid berilmu
زَيْدٌ أَظُنُّ قَائِمٌ = Zaid kuduga berdiri
زَيْدٌ قَائِمٌ أَنَا ظَانٌّ = Aku orang yang menduga Zaid berdiri
Ta’liq, seperti:
أَنَا ظَانٌّ مَا زَيْدٌ قَائِمٌ = aku orang yang menduga bahwa Zaid tidak berdiri
وَأَعْجَبَنِيْ ظَنُّكَ مَا زَيْدٌ قَائِمٌ = dugaanmu bahwa Zaid tidak berdiri mengherankanku
Hukum membuang satu maf’ul atau semuanya
Boleh membuang dua maf’ul atau salah satu diantara keduanya karena terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembuangan kedua maf’ul atau salah satunya, seperti dalam firman Allah berikut:
أَيْنَ شُرَكَاءِيَ الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تَزْعُمُوْنَ
تَزْعُمُوْنَهُمْ شُرَكَائِي = kalian mengatakan mereka (berhala-berhala itu) sekutu-sekutuku.
(kedua maf’ul-nya dibuang, yaitu lafazh هُمْ dan شُرَكَائِي, karena ada dalil yang menunjukkan kepada keduanya, yaitu pertanyaan).
Apabila ditanyakan kepada anda:
مَنْ ظَنَنْتَهُ قَائِمًا؟ = siapakah menurut dugaan anda orang yang berdiri?
Lalu dijawab: ظَنَنْتُ زَيْدًا = aku menduga dia adalah Zaid
Bentuk lengkapnya: ظَنَنْتُ زَيْدًا قَائِمًا = aku telah menduga dia adalah Zaid
Satu maf’ulnya dibuang, yaitu lafazh (قَائِمًا).
Penulis kitab ajurrumiyyah menganggap lafazh سَمِعْتُ termasuk fi’il-fi’il ini, karena mengikuti pendapat Imam Akhfasy dan orang-orang yang mendukungnya, dan maf’ul yang kedua harus terdiri atas kalimat (jumlah) yang didengarnya.
سَمِعْتُ زَيْدًا يَقُوْلُ كَذَا = aku mendengar Zaid mengatakan demikan.
Lafazh يَقُوْلُ , jumlah fi’liyyah yang menjadi maf’ul.
Contoh lainnya seperti firman Allah:
سَمِعْنَا فَتًى يَّذْكُرُهُمْ
Kam i menden gar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini. (al -Anbiya: 60).
Sebagian besar ulama nahwu berpendapat bahwa lafazh سَمِعْتُ itu adalah fi’il muta’addi kepada maf’ul satu. Apabila maf’ul-nya isim ma’rifah seperti contoh yang pertama (lafazh Zaid), maka jumlah (kalimat) sesudahnya menjadi haal. Apabila maf’ul isim nakirah sebagaimana halnya pada ayat tersebut (yaitu lafazh فَتًى), maka jumlah itu menjadi sifat (na'at).
Terimakasih telah membaca artikel Zhanna dan Saudara-saudaranya, semoga bermanfaat!
loading...
terima kasih, keterangan yg sangat lengkap dan bagus
ReplyDeletesama-sama
Delete