Isim yang Beramal Seperti Amal Fi’il
Perlu diketahui bahwa asal amal itu hanyalah bagi fi’il saja, namun juga terdapat tujuh isim yang dapat beramal seperti fi’il.
Yang pertama adalah mashdar dengan syarat dapat menduduki kedudukan fi’il-nya disertai an mashdariyyah atau maa mashdariyyah, seperti:
يُعْجِبُنِيْ ضَرْبُكَ زَيْدًا أَيْ أَنْ تَضْرِبَ زَيْدًا
Mengagumkanku pukulanmu pada Zaid, yakni pukulanmu terhadap si Zaid
يُعْجِبُنِيْ ضَرْبُكَ زَيْدًا أَيْ مَا تَضْرِبُهُ
Mengagumkanku pukulanmu pada Zaid, yakni pukulanmu terhadap si Zaid
Ada tiga cara mashdar beramal, yaitu dengan yang di-mudhaf-kan, yang di-tanwin-kan, dan yang disertai alif dan lam. Akan tetapi, mengamalkannya dalam keadaan di-mudhaf-kan lebih banyak dibanding yang di-tanwin-kan dan yang disertai al. Seperti contoh di atas, dan firman Allah berikut:
وَلَوْلَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) manusia”. (al-Baqarah:251).
Lafazh النَّاسَ maf’ul dari lafazh دَفْعُ yang di-idhafah-kan kepada lafazh اللهِ, yaitu yang menjadi fa’il-nya.
Sedangkan pengamalan dalam keadaan di-tanwin-kan lebih mendekati analogi, seperti firman Allah:
اَوْ اِطْعاَمٌ فِي يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ يَّتِيْمًا
“atau member makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim”. (al-Balad:14-15).
Taqdirnya: اِطْعاَمُهُ........يَتِيْمًا
Dan pengamalan dalam keadaan disertai alif dan lam (al) hukumnya jarang, sebab jauh sekali dari menyerupai fi’il, seperti ungkapan seorang penyair:
ضَعِيْفُ النِّكَايَةِ أَعْدَاءَهُ = musuh-musuhnya lemah untuk dapat mengalahkannya.
Yang kedua adalah isim fa’il, seperti ضَارِبٌ dan مُكْرِمٌ. Jika ia disertai al, maka ia dapat beramal secara muthlaq, mengandung makna madhi, hal atau istiqbal, contoh:
هَذَا الضَّارِبُ زَيْدًا أَمْسِ = Ini adalah orang yang memukul Zaid kemarin.
هَذَا الضَّارِبُ زَيْدًا اْلآنَ = Ini adalah orang yang memukul Zaid sekarang.
هَذَا الضَّارِبُ زَيْدًا غَدًا = Ini adalah orang yang memukul Zaid besok.
Jika tanpa al, maka ia dapat beramal dengan dua syarat, yakni: keadaannya menunjukkan makna seketika atau masa mendatang, dan berpegang kepada nafi atau istifham atau mukhbar ‘anhu atau maushuf, contoh:
مَا ضَارِبٌ زَيْدٌ عَمرًا = Zaid bukanlah orang yang memukul ‘Amr
Atau terletak sesudah istifham, contoh:
أَضَارِبٌ زَيْدٌ عَمرًا = Apakah Zaid orang yang memukul ‘Amr
Atau berkedudukan sebagai mukhbar ‘anhu, contoh:
زَيْدٌ ضَارِبٌ عَمْرًا = Zaid orang yang memukul ‘Amr
Atau berkedudukan sebagai maushuf, contoh:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ ضَارِبٍ عَمْرًا = Aku telah berjumpa dengan seorang laki-laki yang memukul ‘Amr
Yang ketiga adalah berbentuk wazan mubalaghah, yaitu wazan فَعَّالٌ atau فُعُوْلٌ atau مِفْعَالٌ atau فَعِيْلٍ atau فَعِلٌ. Ketentuannya sama dengan isim fa’il. Dengan kata lain, bila menjadi shilah al, maka ia beramal secara muthlaq, seperti:
جَاءَ الضَّرَّابُ زَيدًا = telah datang orang yang banyak memukul Zaid
Jika tanpa al, maka baru dapat beramal dengan dua syarat yaitu menunjukkan makna sekarang atau mendatang, dan berpegang pada nafi atau istifham atau mukhbar ‘anhu atau maushuf, seperti:
مَا ضَرَّابٌ زَيْدٌ عَمْرً = Zaid bukanlah orang yang banyak memukul ‘Amr
Atau seperti:
أَمَّا اْلعَسَلُ فَأَنَا شَرَّابٌ = adapun madu itu, maka akulah orang yang gemar meminumnya.
Yang keempat adalah isim maf’ul seperti مُكْرَمٌ dan مَضْرُوْبٌ. Ia dapat beramal seperti amal fi’il yang mabni maf’ul, dan syarat pengamalannya sama seperti:
جَاءَ اْلمَضْرُوْبُ عَبْدُهُ = Telah datang orang yang hamba sahayanya dipukul
زَيْدٌ مَضْرُوبٌ عَبْدَهُ = Zaid adalah orang yang hamba sahayanya dipukul
Maka lafazh عَبْدَهُ berkedudukan sebagai naibul fa’il dalam kedua contoh tersebut.
Yang kelima adalah shifat musyhabbihah (kata sifat yang menyerupai) isim fa’il yang muta’addi kepada maf’ul satu, seperti lafazh حَسَنٌ dan ظَرِيْفٌ. Bagi ma’mul-nya ada tiga keadaan I’rab, yaitu:
Dibaca rafa’ karena menjadi fa’il, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ وَجْهُهُ وَظَرِيْفٍ لَفْظُهُ
Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang tampan parasnya dan pandai bicaranya.
Dibaca nashab karena diserupakan dengan maf’ul jika ia merupakan isim ma’rifah, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ الوَجْهَ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang bermuka tampan
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ وَجْهَهُ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang wajahnya tampan
Dan dianggap tamyiz jika ia berupa isim nakirah, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ وَجْهًا = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki berwajah tampan.
Dan dibaca jar sebagai lafazh yang di-mudhaf-kan, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنِ اْلوَجهِ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah tampan.
Akan tetapi, ma’mul dari shifat tidak boleh mendahului ‘amil-nya, dan harus dihubungkan dengan dhamir maushuf, adakalanya secara lafzhi, seperti:
زَيْدٌ حَسنُ وَجْهِهِ = Zaid wajahnya tampan
Dan adakalanya dengan dhamir maknawi, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنِ اْلوَجْهِهِ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah tampan
Yang keenam adalah isim tafdhil, seperti أَكرَمُ dan أَفْضَلُ, tetapi ia tidak dapat me-nashab-kan maf’ul bih menurut kesepakatan semua ahli nahwu, dan tidak dapat me-rafa’-kan isim zhahir kecuali dalam masalah kuhl (celak mata). Penjelasannya ialah bila di dalam kalimat yang dimaksud terdapat nafi dan sesudah itu terdapat isim jinis yang disifati oleh isim tafdhil, sedangkan sesudah itu terdapat isim yang mufadhdhal ‘alaa nafsihi dipandang dari dua segi pengertian, misalnya:
مَا رَأَيْتُ رَجُلًا أَحْسَنَ فِي عَيْنِهِ اْلكُهْلُ مِنْهُ فِي عَينِ زَيْدٍ
Aku belum pernah melihat seorang laki-laki yang memiliki celak mata yang paling indah dimatanya daripada celak mata yang ada pada mata si Zaid.
Isim tafdhil ini dapat beramal pada tamyiz, seperti dalam firman Allah ta’ala:
أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا = Hartaku lebig banyak daripada hartamu (al-kahfi:34).
Tamyiz-nya adalah lafazh مَالًا
Juga dapat beramal pada jar dan majrur serta zharaf, seperti:
زَيْدٌ أَفْضَلُ مِنكَ اْليَوْمَ = Zaid lebih baik daripada kamu pada hari ini.
Lafazh مِنكَ jar majrur, lafazh اْليَوْمَ zharaf
Yang ketujuh adalah isim fi’il, ia terdiri atas tiga macam, yaitu ada yang bermakna amar; jenis ini merupakan bentuk yang paling banyak, seperti shah bermakna uskut (diamlah), mah bermakna tahanlah, aamin bermakna kabulkanlah, ‘alaika Zaidan bermakna tetapilah dia, dan duunaka yang bermakna ambillah.
Ada pula yang bermakna madhi, seperti haihaata bermakna ba’uda (jauh) dan syattaana yang bermakna berpisah. Ada yang bermakna mudhari’, seperti awwah bermakna aku sakit, uffin bermakna hus!
Isim fi’il dapat beramal seperti fi’il yang semakna dengannya, tetapi tidak boleh di-mudhaf-kan dan ma’mul-nya tidak boleh mendahuluinya. Isim yang di-tanwin-kan darinya merupakan nakirah, sedangkan yang tidak di-tanwin-kan darinya merupakan ma’rifah.
Demikianlah artikel tentang Isim yang Beramal Seperti Amal Fi’il ini saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, dan sampai jumpa di artikel selanjutnya!
Yang pertama adalah mashdar dengan syarat dapat menduduki kedudukan fi’il-nya disertai an mashdariyyah atau maa mashdariyyah, seperti:
يُعْجِبُنِيْ ضَرْبُكَ زَيْدًا أَيْ أَنْ تَضْرِبَ زَيْدًا
Mengagumkanku pukulanmu pada Zaid, yakni pukulanmu terhadap si Zaid
يُعْجِبُنِيْ ضَرْبُكَ زَيْدًا أَيْ مَا تَضْرِبُهُ
Mengagumkanku pukulanmu pada Zaid, yakni pukulanmu terhadap si Zaid
Ada tiga cara mashdar beramal, yaitu dengan yang di-mudhaf-kan, yang di-tanwin-kan, dan yang disertai alif dan lam. Akan tetapi, mengamalkannya dalam keadaan di-mudhaf-kan lebih banyak dibanding yang di-tanwin-kan dan yang disertai al. Seperti contoh di atas, dan firman Allah berikut:
وَلَوْلَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) manusia”. (al-Baqarah:251).
Lafazh النَّاسَ maf’ul dari lafazh دَفْعُ yang di-idhafah-kan kepada lafazh اللهِ, yaitu yang menjadi fa’il-nya.
Sedangkan pengamalan dalam keadaan di-tanwin-kan lebih mendekati analogi, seperti firman Allah:
اَوْ اِطْعاَمٌ فِي يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ يَّتِيْمًا
“atau member makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim”. (al-Balad:14-15).
Taqdirnya: اِطْعاَمُهُ........يَتِيْمًا
Dan pengamalan dalam keadaan disertai alif dan lam (al) hukumnya jarang, sebab jauh sekali dari menyerupai fi’il, seperti ungkapan seorang penyair:
ضَعِيْفُ النِّكَايَةِ أَعْدَاءَهُ = musuh-musuhnya lemah untuk dapat mengalahkannya.
Yang kedua adalah isim fa’il, seperti ضَارِبٌ dan مُكْرِمٌ. Jika ia disertai al, maka ia dapat beramal secara muthlaq, mengandung makna madhi, hal atau istiqbal, contoh:
هَذَا الضَّارِبُ زَيْدًا أَمْسِ = Ini adalah orang yang memukul Zaid kemarin.
هَذَا الضَّارِبُ زَيْدًا اْلآنَ = Ini adalah orang yang memukul Zaid sekarang.
هَذَا الضَّارِبُ زَيْدًا غَدًا = Ini adalah orang yang memukul Zaid besok.
Jika tanpa al, maka ia dapat beramal dengan dua syarat, yakni: keadaannya menunjukkan makna seketika atau masa mendatang, dan berpegang kepada nafi atau istifham atau mukhbar ‘anhu atau maushuf, contoh:
مَا ضَارِبٌ زَيْدٌ عَمرًا = Zaid bukanlah orang yang memukul ‘Amr
Atau terletak sesudah istifham, contoh:
أَضَارِبٌ زَيْدٌ عَمرًا = Apakah Zaid orang yang memukul ‘Amr
Atau berkedudukan sebagai mukhbar ‘anhu, contoh:
زَيْدٌ ضَارِبٌ عَمْرًا = Zaid orang yang memukul ‘Amr
Atau berkedudukan sebagai maushuf, contoh:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ ضَارِبٍ عَمْرًا = Aku telah berjumpa dengan seorang laki-laki yang memukul ‘Amr
Yang ketiga adalah berbentuk wazan mubalaghah, yaitu wazan فَعَّالٌ atau فُعُوْلٌ atau مِفْعَالٌ atau فَعِيْلٍ atau فَعِلٌ. Ketentuannya sama dengan isim fa’il. Dengan kata lain, bila menjadi shilah al, maka ia beramal secara muthlaq, seperti:
جَاءَ الضَّرَّابُ زَيدًا = telah datang orang yang banyak memukul Zaid
Jika tanpa al, maka baru dapat beramal dengan dua syarat yaitu menunjukkan makna sekarang atau mendatang, dan berpegang pada nafi atau istifham atau mukhbar ‘anhu atau maushuf, seperti:
مَا ضَرَّابٌ زَيْدٌ عَمْرً = Zaid bukanlah orang yang banyak memukul ‘Amr
Atau seperti:
أَمَّا اْلعَسَلُ فَأَنَا شَرَّابٌ = adapun madu itu, maka akulah orang yang gemar meminumnya.
Yang keempat adalah isim maf’ul seperti مُكْرَمٌ dan مَضْرُوْبٌ. Ia dapat beramal seperti amal fi’il yang mabni maf’ul, dan syarat pengamalannya sama seperti:
جَاءَ اْلمَضْرُوْبُ عَبْدُهُ = Telah datang orang yang hamba sahayanya dipukul
زَيْدٌ مَضْرُوبٌ عَبْدَهُ = Zaid adalah orang yang hamba sahayanya dipukul
Maka lafazh عَبْدَهُ berkedudukan sebagai naibul fa’il dalam kedua contoh tersebut.
Yang kelima adalah shifat musyhabbihah (kata sifat yang menyerupai) isim fa’il yang muta’addi kepada maf’ul satu, seperti lafazh حَسَنٌ dan ظَرِيْفٌ. Bagi ma’mul-nya ada tiga keadaan I’rab, yaitu:
Dibaca rafa’ karena menjadi fa’il, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ وَجْهُهُ وَظَرِيْفٍ لَفْظُهُ
Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang tampan parasnya dan pandai bicaranya.
Dibaca nashab karena diserupakan dengan maf’ul jika ia merupakan isim ma’rifah, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ الوَجْهَ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang bermuka tampan
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ وَجْهَهُ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang wajahnya tampan
Dan dianggap tamyiz jika ia berupa isim nakirah, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنٍ وَجْهًا = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki berwajah tampan.
Dan dibaca jar sebagai lafazh yang di-mudhaf-kan, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنِ اْلوَجهِ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah tampan.
Akan tetapi, ma’mul dari shifat tidak boleh mendahului ‘amil-nya, dan harus dihubungkan dengan dhamir maushuf, adakalanya secara lafzhi, seperti:
زَيْدٌ حَسنُ وَجْهِهِ = Zaid wajahnya tampan
Dan adakalanya dengan dhamir maknawi, seperti:
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ حَسَنِ اْلوَجْهِهِ = Aku telah bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah tampan
Yang keenam adalah isim tafdhil, seperti أَكرَمُ dan أَفْضَلُ, tetapi ia tidak dapat me-nashab-kan maf’ul bih menurut kesepakatan semua ahli nahwu, dan tidak dapat me-rafa’-kan isim zhahir kecuali dalam masalah kuhl (celak mata). Penjelasannya ialah bila di dalam kalimat yang dimaksud terdapat nafi dan sesudah itu terdapat isim jinis yang disifati oleh isim tafdhil, sedangkan sesudah itu terdapat isim yang mufadhdhal ‘alaa nafsihi dipandang dari dua segi pengertian, misalnya:
مَا رَأَيْتُ رَجُلًا أَحْسَنَ فِي عَيْنِهِ اْلكُهْلُ مِنْهُ فِي عَينِ زَيْدٍ
Aku belum pernah melihat seorang laki-laki yang memiliki celak mata yang paling indah dimatanya daripada celak mata yang ada pada mata si Zaid.
Isim tafdhil ini dapat beramal pada tamyiz, seperti dalam firman Allah ta’ala:
أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا = Hartaku lebig banyak daripada hartamu (al-kahfi:34).
Tamyiz-nya adalah lafazh مَالًا
Juga dapat beramal pada jar dan majrur serta zharaf, seperti:
زَيْدٌ أَفْضَلُ مِنكَ اْليَوْمَ = Zaid lebih baik daripada kamu pada hari ini.
Lafazh مِنكَ jar majrur, lafazh اْليَوْمَ zharaf
Yang ketujuh adalah isim fi’il, ia terdiri atas tiga macam, yaitu ada yang bermakna amar; jenis ini merupakan bentuk yang paling banyak, seperti shah bermakna uskut (diamlah), mah bermakna tahanlah, aamin bermakna kabulkanlah, ‘alaika Zaidan bermakna tetapilah dia, dan duunaka yang bermakna ambillah.
Ada pula yang bermakna madhi, seperti haihaata bermakna ba’uda (jauh) dan syattaana yang bermakna berpisah. Ada yang bermakna mudhari’, seperti awwah bermakna aku sakit, uffin bermakna hus!
Isim fi’il dapat beramal seperti fi’il yang semakna dengannya, tetapi tidak boleh di-mudhaf-kan dan ma’mul-nya tidak boleh mendahuluinya. Isim yang di-tanwin-kan darinya merupakan nakirah, sedangkan yang tidak di-tanwin-kan darinya merupakan ma’rifah.
Demikianlah artikel tentang Isim yang Beramal Seperti Amal Fi’il ini saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, dan sampai jumpa di artikel selanjutnya!
loading...
0 Response to "Isim yang Beramal Seperti Amal Fi’il"
Post a Comment